08 Juli 2008

PAJAK BERGANDA, MASALAH YANG TIDAK TUNTAS DALAM UU PERBANKAN SYARIAH

UU Perbankan syariah, sebagai payung hukum yang menguatkan keberadaan perbankan syariah sudah disahkan.. Bagi pelaku usaha dan pengguna jasa perbankan berbasis syariah, UU ini akan memberikanan kepastian hukum untuk kelangsungan industri. perbankan syariah dan sekaligus mendorong kepercayaan bagi para investor dalam negeri dan luar negeri untuk investasi modalnya di Indonesia. Kondisi ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan bank syariah dari segi aset. Target perkembangan syariah yang diharapkan tahun ini adalah sebesar 5% , sekitar 90 trilyun..

Oleh : Nursanita Nasution

UU Perbankan syariah, sebagai payung hukum yang menguatkan keberadaan perbankan syariah sudah disahkan.. Bagi pelaku usaha dan pengguna jasa perbankan berbasis syariah, UU ini akan memberikanan kepastian hukum untuk kelangsungan industri. perbankan syariah dan sekaligus mendorong kepercayaan bagi para investor dalam negeri dan luar negeri untuk investasi modalnya di Indonesia. Kondisi ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan bank syariah dari segi aset. Target perkembangan syariah yang diharapkan tahun ini adalah sebesar 5% , sekitar 90 trilyun.

Namun apakah ini bermakna bahwa semua masalah yang berkaitan dengan operasional perbankan syariah sudah dapat diatasi? Ternyata tidak, karena masalah pajak berganda (double taxation) dalam transaksi murabahah belum dapat dituntaskan, padahal pajak berganda ini merupakan salah satu satu masalah yang mendasar di bidang hukum (legal impediment) terkait dengan operasional perbankan syariah di Indonesia.. Murabahah adalah salah satu produk pembiayaan di perbankan syariah yang menggunakan prinsip jual beli. Tahun 2002, bank konvensional menyurati Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang mengklarifikasi apakah benar transaksi murabahah tidak dikenai PPN, selanjutnya setelah melakukan kajian, Ditjen Pajak menyimpulkan bahwa praktik transaksi murabahah adalah transaksi jual beli antara penjual barang kepada bank syariah yang dilanjutkan dengan transaksi jual beli antara bank syariah dengan nasabah, sehingga merujuk pada UU no. 8 / 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi murabahah pun dikenai PPN dua kali. Pertama saat dianggap telah terjadi penyerahan barang dari penjual kepada bank, kedua saat terjadi peyerahan barang dari bank kepada nasbah. Namun dari perbankan syariah sendiri memberikan alasan lain yakni dengan mengatakan bahwa meskipun memakai prinsip jual beli, pembiayaan murabahah bukan semata-mata transaksi jual beli, sehingga pengenaan PPN ganda dinilai tidak tepat. Upaya menjernihkan masalah pernah dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan melayangkan surat kepada Ditjen Pajak yang intinya berharap agar transaksi murabahah dapat dikecualikan dari pengenaan PPN, namun tidak menemukan titik temu, karena Ditjen Pajak berpendapat, kegiatan transaksi murabahah tidak bisa digolongkan sebagai jasa perbankan. Konsekuensinya, ketentuan Pasal 5 huruf d Peraturan Pemerintah (PP) no 144/2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak Dikenai PPN, yang menyatakan bahwa jasa di bidang perbankan termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN, tidak berlaku untuk transaksi murabahah.

Memang dalam UU perbankan syariah yang baru ini, masalah pajak ganda ( double tax) tidak diikursertakan karena kata-kata transaksi jual beli dalam UU ini dihilangkan menjadi menyalurkan Pembiayaan dengan pembiayaan akad Murabahah, tapi tetap saja pengistilahan jual-beli yang diganti dengan kata pembiayaan ini masih tetap memberi celah akan penafsiran yang berbeda, karena masalah ini seharunya menjadi khas (lack specialis) dari UU Perbankan Syariah. Tentunya akan lebih tepat seandainya langsung ada pasal yang menyebutkan penghapusan pajak berganda pada transaksi murabahah dalan perbankan syariah.. di dalam UU tersebut.

Pengenaan pajak dua kali atas transaksi pada produk perbankan syariah terutama pada produk murabahah, ini tentunya tidak menguntungkan bagi perkembangan industri bisnis syariah, terutama pada perbankan syariah, sebab akan menyebabkan biaya mahal dalam industri syariah. Murabahah adalah salah produk terlaris dan andalan dari perbankan syariah. Data menunjukkan bahwa transaksi perbankan syariah tidak kurang dari Rp21,920 triliun dengan komposisi terbesarnya adalah murabahah yakni Rp13,340 triliun atau sebayak 60,86 persen (Republika, 4/2).

Ada beberapa alasan, kenapa pajak berganda ini perlu dihapuskan dengan tegas, kartena pajak berganda tentunya menjadi penghambat dalam pencapaian target aset perbankan syariah. Seperti yang terjadi tahun 2007, tercatat laju pertumbuhan bank syariah mencapai 30,1 persen, terjadi penurunan dalam skim pembiayaan (lebih rendah) apabila dibandingkan pembiayaan tahun 2006 yang mencapai 34,2 persen. Pada sisi lain juga pajak ganda menjadi sangat masalah terkait dengan kepentingan masuknya investasi asing di Indonesia, karena pajak ganda akan menyebabkan industri perbankan dan keuangan syariah Indonesia menjadi kurang menarik dikembangkan. Kecendrungan terhadap bisnis keuangan syariah tentunya harus direspons dengan menghilangkan hambatan hukum dalam perkembangan bisnis keuangan syariahnya, apalagi Indonesia memiliki komunitas ummat Islam terbanyak, sehinngga ini menjadi peluang pasar yang jelas bagi perbankan syariah. Indonesia juga merupakan wilayah strategis untuk sasaran ekspansi dari berbagai raksasa perbankan Islam dari berbagai negara, seperti Kuwait Finance House dan Qatar Islamic Bank, dan pernyataan ini pernah disampaikan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Namun kita selalu lambat menangkap peluang.

Pemberlakuan hanya satu kali pajak dalam pembiayaan syariah telah dilakukan oleh banyak negara lain, contohnya. Amerika Serikat, yang secara langsung melakukan legal adjustment (penyesuaian hukum) terhadap masalah ini, melalui Office of the Comptroller of the Currency (OOC ), sebagai pemilik otoritas yang bertanggung jawab mengatur urusan moneter di negara itu, langsung mengeluarkan dua Interpretative Letters, yakni No 806 dan 867 yang berisi tentang transaksi murabahah dan ijarah, dengan catatan tertentu dapat dikecualikan dari ketentuan yang disebutkan pada National Bank Act 1864 tersebut. (Shirley Chiu and Robin Newberger, 2006). National Bank Act of 1864 di Amerika Serikat secara tegas melarang industri perbankan melakukan transaksi jual beli. Hal ini jelas merupakan hambatan utama bagi perbankan Islam. Dan ternyata perkembangannnya adalah perbankan Islam menjadi sangat diminati, terutama dalam program home financing. Ini karena praktik itu jauh lebih baik dibandingkan dengan melalui skim mortgage yang konvensional.
S

ingapura, ternyata saat ini telah menjadi raksasa perbankan Islam Asia di negara itu dengan modal yang cukup besar berasal dari investor Timur Tengah., sebagai hasil dari kebijakan. Monetary Authority of Singapore, yang diumumkan bersamaan dengan annual budged negara itu tahun 2005, secara tegas menyatakan menghapuskan pajak ganda pada Maret 2005. Demikian juga Inggris, yang dengan sangat serius menjadikan London sebagai wilayah yang paling nyaman, strategis bagi hubungan Islamic financial business di Eropa. Untuk masalah pajak berganda, di tahun 2003 , melalui FSA (Financial Service Authority), badan independen yang menentukan regulasi keuangan di Inggris, menghapuskan pajak ganda yang menurut badan tersebut dianggap sebagai the main hurdle in the UK, dengan diintroduksinya Finace Act 2003. Dan hasilnya dalam home financing, sudah mencapai 500 juta poundsterling (setara dengan satu miliar dolar AS). Bahkan, hampir setiap tahun dalam empat tahun terakhir ini selalu ada perubahan regulasi di negara itu khusus dalam rangka merespons bisnis keuangan Islam ini.

Kebiijakan penghapusan pajak berganda ini juga langsung direspon oleh Malasyia, dengan Amendment Real Property Gains Tax (RPTG) Act 1976. Di dalamnya ada pengaturan baru pada schedule 2 paragraf 3(g), yang menyebutkan bahwa gains yang diperoleh oleh bank dengan penjualan aset kepada nasabah atas prinsip syariah dikecualikan dari pajak. Dalam Stamp Act 1949, juga untuk 'memuluskan' perbankan Islam, terjadi amandemen dengan memasukkan pasal (section) 14A, yang menyebutkan bahwa penghitungan pajak didasarkan pada jumlah pembiayaan dari bank meski dalam perjanjian dengan nasabah yang terjadi harga penjualan adalah jumlah pembiayaan ditambah dengan profit margin. Lagi-lagi untuk mendukung industri keuangan Islam, Income Tax 1967 Act juga diamandemen dengan memasukkan pasal (section) 2(7), bahwa semua penyebutan interests (bunga) dalam undang-undang ini berlaku secara mutatis mutandis dengan gains (keuntungan) dan expenses (biaya) dalam pembiayaan berdasar syariah.

Kehadiran perbankan syariah, yang kemudian diikuti oleh lahirnya payung hukumnya, yaitu UU perbankan syariah memang harus disambut dengan gembira dan optimis, namun tentunya perlu keberanian dan ketegasan yang pasti untuk menafsirkan apa pun produk bank syariah, termasuk murabahah haruslah dianggap sebagai bagian dari sistem perbankan yang tidak layak dikenai dengan pajak ganda, sehingga perbankan syariah diharapkan mampu memberikan manfaat dan keuntungan yang besar buat pembangunan sosio-ekonomi masyarakat, terutama UMKM, apalagi kalau melihat persentase jenis usaha yang berkembang saat ini, di mana lebih dari 80 persen berada pada sektor UKM. Perbankan syariah diharapkan menjadi pemain utama (leading sector) dalam pembiayaan skim-skim yang berpihak kepada masyarakat UKM, Khususnya untuk transaksi murabahah yang memegang porsi terbesar dalam pembiayaan perbankan syariah. UU Perbankan syariah ini yang baru saja disahkan ini akan berjalan dengan baik jika UU Perpajakan juga mengakomodir transaksi ekonomi syariah dengan jelas mengatakan penghapusan pajak ganda, khususnya dalam transaksi murabahah. Dengan demikian tuntaslah masalah perbankan syariah

Sumber :
http://fpks-dpr.or.id

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]