31 Juli 2008

Penolakan PKS terhadap Inu Kencana

Siapa kenal Nurmahmudi Ismail, Hidayat Nurwahid, atau Tifatul Sembiring sebelum mereka memimpin PKS? Mereka baru dikenal dan menjadi tokoh popular setelah PKS mengusungnya. PKS tampaknya cenderung menghindari hal yang sebaliknya: mendompleng popularitas tokoh-tokoh luar untuk mempopulerkan partai.


Berbagai media pekan lalu memberitakan bahwa Inu Kencana Syafiie, mantan dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), yang melamar untuk menjadi calon legislator ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ditolak. Membaca penolakan lamaran PKS di berbagai media, sejumlah petinggi partai politik langsung menawari Inu untuk menjadi calon legislator "nomor peci" (dulu nomor jadi). Bahkan menurut situs berita Inilah.com, setelah ditolak PKS, Inu dilamar 11 partai politik. Dengan kehadiran tokoh sepopuler Inu, secara logika partai-partai yang mengusungnya niscaya akan populer dan, dampaknya, perolehan suara partai dalam Pemilu 2009 akan terdongkrak.

Logika di atas hampir 100 persen diterima oleh partai-partai "konvensional" yang akan berlaga dalam Pemilu 2009 nanti. Popularitas seseorang menjadi jaminan untuk diterima sebagai calon legislator. Bahkan sejumlah partai seperti PAN, PKB, dan PDIP berburu calon legislator populer atau selebriti, seperti dari kalangan artis, tokoh agama, penulis, pebisnis, intelektual, dan lembaga swadaya masyarakat.

Barangkali itulah sebabnya Inu cukup pede melamar PKS. Tapi sayang, PKS punya pandangan yang berbeda dengan partai-partai lain.


Logika partai kader
Sebagai partai kader, PKS punya logika yang berbeda dengan partai-partai lain, seperti PBB, PKB, dan PDIP. Bagi PKS, ketokohan dan popularitas seseorang bukan sesuatu yang amat penting. PKS mengandalkan jalannya mesin partai dari "energi kader". Karena itu, ketokohan, popularitas, dan kekayaan seseorang bukanlah faktor utama dalam menentukan calon legislator baik di DPR maupun DPRD.

Bahkan, lebih jauh lagi, karena pengkaderan PKS berbasis Islam, justru PKS menghindari orang-orang yang thoma' (tidak ikhlas) dan ujub (pamer) untuk dipilih sebagai calon legislator. Sebab, orang-orang yang thoma' dan ujub dalam pandangan Islam adalah orang-orang buruk dan tidak akan bisa memegang amanah.

Bagi PKS yang partai kader, suara kader jauh lebih berharga ketimbang popularitas dan ketokohan seseorang. Bahkan ketokohan dan popularitas seseorang, menurut sumber di PKS, bisa berakibat buruk terhadap "mekanisme sistemik dari bekerjanya mesin kader PKS".

Dari pandangan seperti itulah kita bisa melihat bagaimana cara berpikir dan berlogika orang-orang PKS. PKS, misalnya, berani menampilkan Ahmad Heryawan dalam pemilihan kepala daerah Jawa Barat, padahal Ahmad Heryawan "bukan siapa-siapa" dibanding tokoh-tokoh semacam Agum dan Danny Setiawan di Jawa Barat. Terpilihnya Heryawan membuktikan bahwa kendaraan bermesin kader PKS ternyata mampu bekerja dengan baik, siapa pun pengendaranya. Hal ini, misalnya, tidak hanya terbukti pada pilkada Jawa Barat, tapi juga NTB, Sumatera Utara, dan DKI.

Dalam pilkada DKI, misalnya, PKS berani mengusung Adang Daradjatun, tokoh yang kurang dikenal massa Jakarta sebelumnya, dibanding Sarwono Kusumaatmadja, Rano Karno, dan lainnya yang saat itu berharap dipilih jadi calon gubernur oleh partai politik. Meskipun demikian, Adang, yang sebelumnya kurang popular, berkat energi kader PKS, perolehan suaranya hanya berselisih sedikit dibanding gubernur terpilih Fauzi Bowo, yang didukung oleh semua partai kecuali PKS.

Dari fenomena itulah, terlihat kenapa PKS tampaknya tidak pernah tergiur oleh ketokohan dan popularitas seseorang untuk dijadikan calon legislator. Bagi PKS, yang terpenting adalah bagaimana penilaian kader terhadap "calon-calon"-nya, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Dalam kaitan dengan ini, PKS punya mekanisme tersendiri untuk menempatkan kader-kadernya di legislatif maupun eksekutif, dan mekanisme ini dibangun atas kesepakatan kader dan pimpinan. PKS, kata Wahyudin Munawir, salah seorang anggota DPR RI dari PKS, lebih percaya kepada sistem ketimbang ketokohan seseorang.

Siapa kenal Nurmahmudi Ismail, Hidayat Nurwahid, atau Tifatul Sembiring sebelum mereka memimpin PKS? Mereka baru dikenal dan menjadi tokoh popular setelah PKS mengusungnya. PKS tampaknya cenderung menghindari hal yang sebaliknya: mendompleng popularitas tokoh-tokoh luar untuk mempopulerkan partai.

Dari gambaran di atas, bisa dipahami kenapa PKS tidak terlalu merespons lamaran Inu Kencana. Kader dan pimpinan PKS tentu saja mengetahui kepopuleran dan kebaikan nama Inu. Tapi itu tidak berarti DPP PKS bisa mengubah kesepakatan atau ketetapan yang telah diputuskan partai hanya karena lamaran Inu. Hal ini berbeda dengan partai-partai lain.

Tak sedikit pemimpin partai yang seakan menjadi "godfather"--bisa mengatur penempatan calon legislator, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, sesuai dengan keinginannya atau keinginan segelintir orang tanpa perlu memutuskannya dalam rapat partai. Ini terbukti dari banyaknya partai yang dengan senang hati menerima dan menghargai "kutu loncat" dan menempatkan sang kutu loncat pada posisi yang terhormat di partai.

Mereka, para kutu loncat itu, dihargai karena faktor ketokohan, popularitas, dan finansialnya. Hal-hal seperti inilah yang sering kadang merusak nama partai di kemudian hari. Sejumlah anggota legislatif yang tertangkap KPK karena kasus suap, misalnya, banyak di antaranya para kutu loncat.


Tentu saja sebagai partai berbasis kader, PKS punya kelemahan dibanding partai berbasis massa. PKS sulit menjadi partai besar seperti halnya Golkar dan PDIP yang berideologi pluralis dan menggunakan cara "pragmatis" untuk membesarkan partai. Meskipun demikian, di saat partai-partai lain tergerus kredibilitasnya oleh skandal korupsi dan seks, kehadiran PKS sebagai partai kader, memberikan nuansa baru.

Dengan kuatnya sistem pengkaderan di PKS yang berasaskan Islam, partai ini sangat tajam penciumannya terhadap gelagat buruk kader-kadernya, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Itulah yang menyebabkan PKS relatif bersih dari isu-isu miring, karena sistem dan mekanisme partai mampu mengeliminasi gejala dan indikasi buruk yang muncul pada kader-kadernya.

Saat ini, di saat bangsa Indonesia rindu pada pembangunan sistem yang bersih dari korupsi, bukan tidak mungkin masyarakat, termasuk yang nonmuslim, cenderung bersimpati kepada PKS pada pemilu mendatang, karena tertarik kepada pembangunan sistem pengkaderan dan mekanisme early warning-nya terhadap korupsi. Namun, jika sekali saja PKS gagal menjaga kredibilitasnya di masyarakat, partai kader ini pun akan ambruk dan hanya menjadi cemoohan orang. Semoga hal terakhir ini tidak akan terjadi!*

Syaefudin Simon,mahasiswa Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta

Sumber: www.pk-sejahtera.org

Tidak ada komentar: